BLOOD - PSIKOPAT

 

BLOOD

Dalam bayangan diriku sendiri, Aku adalah seorang Psikopat ... Namun, dalam bayangan dirinya, Aku hanya seorang Pria polos

~Yamashita Rui~

Aku selalu menyukai suasana sekolah ketika berakhir. Karena aku bisa melihat wajah-wajah bahagia dari teman-teman sekelasku, meskipun aku tidak tau apa yang membuat mereka bahagia. mungkin saja diantara mereka ada yang ingin pergi kencan dengan kekasihnya, atau menonton movie di bioskop, atau hanya sekedar bermain atau mungkin istirahat dan tidur di rumah.

Entahlah, aku tidak perduli dengan alasan mengapa semua orang bahagia setiap kali sekolah usai. Yang pasti untukku adalah semua ini adalah pemandangan berharga yang tidak akan bisa aku dapatkan di tempat lain, selain di sekolah. Aku pun memiliki kebiasaan. Aku tidak terburu-buru seperti teman sekelasku yang lain ketika sekolah usai. Karena aku suka melihat dan memperhatikan wajah-wajah bahagia itu. hingga kelas sepi dan kosong, aku baru akan merapihkan buku-buku milikku dan pergi pulang.

Dan tampaknya kebiasaanku ini membuat sahabat baikku Nomura Kenta penasaran. Setelah aku keluar dari kelas, ternyata Kenta menungguku di luar. Aku terkejut melihat dia masih berdiri di depan pintu kelas.
"Kenapa kau masih di sini ? ada sesuatu yang tertinggal ?" tanyaku
"tidak. Aku hanya ingin tau kenapa kau selalu keluar kelas paling akhir. Apa yang kau lakukan ? kau tidak mencoba melakukan sesuatu yang buruk kan ?" tanya Kenta, aku hanya tersenyum dan berjalan melewatinya. Dia mengikutiku.

"Tidak" hanya itu yang keluar dari mulutku
"lalu kenapa ?" kenta masih ingin tau
"tidak ada alasan penting. Ini hanya karena aku menyukai kalian semua" jawabku jujur, tapi Kenta tidak akan mengakhirinya begitu saja hanya karena jawabanku itu
"Apa maksud Menyukai kalian semua ?"
"ya .. kalian semua, teman sekelasku" jawabku lagi
"aku tidak mengerti" kenta bergumam pada dirinya sendiri
"Aku menyukai melihat wajah kalian semua setiap kali sekolah berakhir. Karena, aku selalu melihat wajah-wajah bahagia di sana
itu menyenangkan"
"kau aneh sekali. Aku tidak pernah mendengar hal seperti itu sebelumnya"
"kau mendengarnya dariku sekarang" aku tertawa
"Yaaaa ... untuk seorang Rui yang dicintai banyak orang, aku rasa itu wajar. Kau terlihat tidak memiliki siapapun yang membencimu" ucap kenta, membuatku sadar bahwa ucapannya sangat bertolak belakang dengan pikiranku.
"Kau salah. Aku punya seseorang yang membenciku, katakanlah ... dia bahkan musuh besarku. Dia juga sungguh  membenciku lebih dari siapapun yang ada di dunia ini" ucapku dengan pandangan kosong
"benarkah ? siapa ? siapa orangnya, katakan padaku ! apa dia sekolah di sini ? kelas berapa ? yang mana orangnya, beritau aku !" Kenta tampak antusias.

Aku mengerti mengapa kenta begitu antusias untuk mengetahui siapa orang yang membenciku, karena apa yang dikatakannya sebelumnya itu adalah benar. Aku memang di cintai banyak orang disekolah ini, semua orang berfikir bahwa aku adalah siswa teladan yang baik dan pintar. Sayangnya, aku tidak sepenuhnya seperti itu.

"Itu aku" jawabku singkat, membuat Kenta terkejut dan menghentikan langkahnya, aku menatapnya sambil tertawa karena dia menunjukan ekspresi yang luar biasa menarik

"Kau sudah gila. Kau katakan ada seseorang yang membencimu dan bahkan kau menyebutnya sebagai musuhmu. Tapi dia adalah dirimu sendiri ! Rui, apa kau gila"

"Apa yang salah dari ucapanku. Aku tidak bohong" ucapku, membuat jeda sesaat sebelum melanjutkan.
"Aku memang membenci diriku sendiri, hingga titik aku menyebut diriku sendiri sebagai musuh besarku" aku melanjutkan, Kenta tampak kebingungan dengan apa yang ia dengar. Dan dia terlihat khawatir sekarang.
"Rui ... kau tidak sungguh-sungguh mengatakan hal itu kan ? bagaimana bisa kau membenci dirimu sendiri, ketika semua orang begitu mencintaimu"

"Apa itu salah aku membenci diriku sendiri ?" tanyaku pada kenta

"bukan seperti itu. tapi, kenapa kau membenci dirimu sendiri ? adakah sesuatu yang tidak kami semua ketahui tentang dirimu ?" kenta balik bertanya padaku , aku hanya menjawabnya dengan anggukan kecil
"Apa itu sesuatu yang buruk ?" dia bertanya sekali lagi

"sangat. hingga titik aku tidak bisa mengenali diriku lagi" jawabku tertunduk

"Apa aku boleh tau, apa itu ..." Kenta memang sahabat terbaikku. Dia selalu ada untuk menghiburku, aku percaya padanya. Namun, hal ini tentu tidak mudah untuk kukatakan padanya.

"Kau terlalu penting untukku sebagai seorang sahabat, jadi aku tidak ingin kehilanganmu" ucapku
"Kehilangan ?"

"Kau mungkin akan lari sejauh mungkin untuk pergi meninggalkanku, jika aku memberitau alasan mengapa aku membenci diriku sendiri"

"seburuk itukah ?" kenta bertanya, dan sekali lagi aku hanya mengangguk untuk menjawabnya.
"Aku tidak memberitaumu bukan berarti aku tidak ingin memberitaumu. Tapi jika hari itu datang, jika sesuatu terjadi padaku ... itu adalah jawaban atas pertanyaanmu saat ini"

"aku hanya berharap jika kau sudah mengetahui segalanya, kau tidak lari dariku" aku melanjutkan ucapanku sambil tertawa getir. Dan Kenta hanya menatapku penuh dengan kekhawatiran di wajahnya.

Aku tidak bermaksud untuk menutupi alasan itu pada Kenta. Tapi sungguh, Kenta terlalu berharga untukku lepaskan semudah itu. aku masih butuh seorang teman baik seperti dirinya saat ini. satu-satunya alasan mengapa aku merahasiakan alasan itu darinya hanya karena aku takut dia menjauhiku, melarikan diri untuk pergi meninggalkanku. Karena meskipun banyak orang mencintaiku, Hanya Kenta yang paling berarti sebagai seorang sahabat untukku. Dan karena alasan itulah, aku tidak ingin memberitau Kenta. Biarkan dia melihat dan menyaksikannya sendiri suatu hari nanti, bagaimana AKU .... dari sisi diriku yang lain.
Tapi aku berharap, hari itu tidak pernah datang !

Sepulang sekolah, setelah apa yang aku katakan pada Kenta tampaknya itu menganggu pikiranku. Aku mulai takut jika Kenta mencurigai sesuatu padaku dan mulai mencari tau. aku menyesalinya, apa yang aku katakan padanya.

Bayangan Kenta meninggalkanku membuatku frustasi memikirkannya, aku tidak langsung kembali pulang ke rumah saat ini tetapi berjalan-jalan di pinggir hiruk pikuk kota, berharap rasa khawatirku hilang secepat mungkin. Tentu saja, itu tidak akan bekerja.

"Apa yang aku lakukan ?" tanyaku pada diriku sendiri sambil mengacak-acak rambutku frustasi. Aku melihat ke sekeliling dan menyadari bahwa saat ini aku berada di halte. Aku tidak tau apa yang harus aku lakukan saat ini, jadi aku memutuskan untuk kembali pulang.

Namun, aku mendengar sebuah teriakan dari balik punggungku. Aku mendongak dengan cepat untuk melihat apa yang terjadi. dan .... ini bukan sesuatu yang baik, setidaknya untukku !

Aku menatap seorang gadis kecil berumur sekitar 8 tahun yang jatuh tidak jauh dari tempatku berdiri. Dia mengalami luka di siku kananya dan mengeluarkan cairan kental berwarna merah. Ya ... itu Darah !. ibu si gadis hanya mencoba menenangkan anaknya yang masih terus menangis karena kesakitan, tapi aku sama sekali tidak memperdulikan hal itu. bukan rasa kasihan yang terbesit di dalam kepalaku, tapi kebencian yang tak bisa kukendalikan.

Aku terus menatap marah pada si gadis kecil, meskipun aku mencoba menahan diriku tapi aku tidak bisa mengendalikan emosi yang sudah terbakar dikepalaku.

Brengsek ! kenapa harus ada darah disana ! mengapa ibunya tidak membersihkan darah itu secepat mungkin !
aku benar-benar tidak bisa menahan diriku jika aku masih melihat darah itu mengalir dari siku si gadis kecil.
Kakiku melangkah secara perlahan menuju gadis kecil yang masih terus menangis. Aku tidak pernah memandang seseorang. Tidak perduli dia anak kecil, perempuan, lansia atau apapun, jika aku melihat darah di tubuh mereka ... jiwa buruk dalam diriku akan tetap mendorongku untuk menyerangnya.

Hanya seperti saat ini, aku sudah siap untuk menyerang gadis kecil itu, namun tangan seseorang menahanku ! Sosok seseorang yang aku kenal berdiri di sana. dia masih menahan tanganku, aku tidak mengerti kenapa dia menahanku. Tapi aku tidak bisa mengalihkan mataku dari wajahnya. Wajah yang kurindukan.
"Rikiya ..." ucapku spontan
"Bisa kau membantuku ?" dia bertanya
"Aku kesulitan membawa tasku. Itu cukup besar, rumahku tidak jauh dari sini. Kau tau itu kan ... jadi, bisa kau membantuku membawakan tas itu" Rikiya menunjuk pada sebuah tas berwarna abu-abu yang terletak dekat pada bangku halte bus. Aku hanya menyetujuinya dengan senang hati.

Sambil berjalan menuju rumah Rikiya, aku terus menatapnya dengan senyum. Gadis yang sudah sangat kurindukan kehadirannya. Rikiya sudah tidak masuk sekolah selama lebih dari satu minggu, dia meminta ijin kepada pihak sekolah untuk pergi ke Hokaido, neneknya meninggal beberapa hari yang lalu. Dan disini ia kembali, aku benar-benar senang bisa melihat wajahnya lagi.

"Apa yang terjadi di halte tadi ?" Rikiya membuyarkan lamunanku
"Halte ? ada apa di halte ?" seperti orang bodoh, aku lupa dengan apa yang terjadi
"Di Halte tadi, tampaknya ramai sekali. Kelihatannya ada sebuah kecelakaan. Maaf, mungkin kau ingin menolongnya tapi aku malah menyuruhmu membantuku" ucap Rikiya

Aku menyadarinya sekarang. Melihat Rikiya membuatku lupa dengan apa yang baru saja terjadi. aku tersenyum mengingat hal itu, jika saja Rikiya tidak datang dan menahan tanganku ... mungkin aku sudah melakukan hal bodoh pada gadis kecil tak berdosa itu. menakutkan, jika saja rikiya tidak datang, mungkin .... mungkin saja emosi dalam diriku akan melakukan tindakan bodoh yang bisa membuat orang tak berdosa mati di tanganku.

Tidak seharusnya gadis manis ini mengutarakan permohonan maaf padaku, karena aku yang seharusnya mengutarakan rasa terima kasih padanya. Tapi aku tidak bisa mengatakan hal itu, karena jika aku mulai mengatakannya ... Rikiya akan bertanya mengapa aku berterima kasih. Aku tidak ingin mengatakan alasan dibalik ucapan terima kasih itu. jadi ....

"kau tidak perlu minta maaf. Sejujurnya, aku tidak sedang ingin menolong gadis kecil itu" jawabku
"eh ? tapi kau tampak seperti ingin datang menolongnya"
Bukan menolongnya, tapi menyerang padanya ... atau mungkin ... membunuhnya
"itu tidak mungkin"
"kenapa tidak mungkin ?" tanya Rikiya
"karena ....."
Sial ! aku hampir saja mengatakan alasan sebenarnya !
"karena ... karena aku takut pada darah" jawabku berbohong. Dan jawabanku tampaknya membuatnya heran, sehingga dia tertawa begitu senang. Aku tidak perduli dengan kebohonganku, aku hanya menikmati tawa riang dari wajah Rikiya
"kau takut pada darah ? Rui, kau serius dengan ucapanmu ?" tanya rikiya yang masih terus tertawa
Tertawalah ... aku menyukai suara tawamu
"Ya begitulah. Aku tampak seperti seorang pengecut ya" aku bertanya main-main
"Tidak. Bukan begitu, aku yakin kau tidak pernah berkelahi. karena dalam sebuah perkelahian sudah pasti akan ada luka yang menimbulkan darah bukan, kau tidak pernah berkelahi ya ?" tanya Rikiya, kini tawanya sudah reda
"Pernah" jawabku singkat
"sungguh ?"
"Ya, tapi aku tidak melihat ada darah. Setidaknya, kecoa itu mati di tanganku tanpa ada darah sedikitpun" jawabku.

Sungguh, aku jujur dengan ucapanku kali ini. namun, tampaknya sekali lagi jawabanku membuatnya tertawa. Aku tidak bohong dengan ucapanku tentang Kecoa. Aku sungguh membunuhnya dan tidak melihat darah apapun. Aku mengerti jika Rikiya menganggap hal ini sebagai lelucon, tapi ini sungguh apa yang terjadi. aku terkadang berfikir bahwa aku bodoh, tapi terkadang aku tidak menyadari kebodohanku.
"Rui, kau benar-benar tidak terduga" hanya itu yang kudengar dari sela tawa riangnya, dan aku pun hanya menjawab ...

"Begitu ya" dan ikut tertawa dengannya.
Dan dalam perjalanan kami menghabiskan waktu dengan bercerita. Terutama tentang nenek Rikiya yang sakit keras dan meninggal beberapa hari yang lalu. Aku menikmati perjalananku bersamanya, ini mungkin bukan untuk pertama kalinya aku bicara ataupun berjalan bersama dengannya. Tapi entah mengapa, segala sesuatu yang kulakukan bersamanya selalu tampak menjadi pertama kali buatku.

Dan dengan apa yang terjadi di Halte tadi, aku berharap Rikiya akan terus menjadi malaikatku, menolongku keluar dari sisi buruk di dalam diriku yang lain.

Posting Komentar

Request Artikel bisa di lakukan di Komentar ini maupun Fanspage

Lebih baru Lebih lama